Kamis, 19 Mei 2011

Fenomena Pendidikan di Indonesia


FENOMENA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Masalah pendidikan dewasa ini semakin menjadi perhatian. Tidak mengherankan mengingat pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat dan menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Kedudukan pendidikan sangat strategis menuju arah tercapainya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Berbagai upaya dihimpun dan dikerahkan untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pendidikan, terutama pendidikan formal di sekolah-sekolah. Namun pada kenyataannya peningkatan kualitas sumber daya manusia itu tidaklah mudah karena banyak fenomena di lembaga sekolah yang membuat tujuan pendidikan semakin sulit untuk dicapai. Berbagai fenomena yang terjadi di sekolah diantaranya sebagai berikut:
1.        Sistem pendidikan nasional
Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional sangat ideal yang masih sulit dicapai dengan sistem pendidikan kita sekarang ini. Dapat kita lihat sejauh mana pendidikan di sekolah berupaya membentuk siswa-siswanya menyandang sifat yang memuaskan seperti disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.
Akibat idealisme tujuan pendidikan yang terlalu tinggi sehingga ada kesalahan yang terjadi didunia pendidikan kita dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut.
Hamzah (2007) menyatakan ada sepuluh kesalahan dalam pendidikan kita yaitu (1) pendidikan terkesan sebagai pembelengguan, (2) pendidikan terkesan sebagai pembodohan, (3) pendidikan terkesan sebagai perampasan hak anak-anak, (4) pendidikan terkesan menghasilkan tindak kekerasan, (5) pendidikan terkesan sebagai pengebirian potensi, (6) pendidikan terkesan sebagai pemecah wawasan siswa, (7) pendidikan terkesan sebagai wahana disintegrasi, (8) pendidikan terkesan menghasilkan manusia otoriter, (9) pendidikan terkesan menghasilkan manusia apatis terhadap lingkungan, (10) pendidikan terkesan hanya terjadi di sekolah.
Hal ini dapat kita cermati dari beberapa fenomena pendidikan sekarang ini diantaranya ada “fenomena penyeragaman menjadi ciri khas sistem pendidikan kita. Siswa selalu dihadapkan berbagai keseragaman baik duduknya, pakaiannya, cara mengerjakan soal, cara berpikir, bertanya, buku maupun kurikulumnya. Di satu sisi memudahkan pengaturan siswa dan mengekang emosionalnya akan tetapi di lain pihak memenggal kebebasan siswa termasuk kognitifnya. Betapa tidak ! Siswa mau muncul, dikekang kurikulum. Mau lari dikekang penjadwalan dan mau tidur dikekang etika. Bukankah hal ini berarti mengebiri kreativitas siswa? Tidaklah sekolah malah menjadi pabrik pencetak manusia penurut ? Bukan lagi kreativitas yang diperoleh tetapi kebebasan berpikir terbelenggu dengan model-model hafalan pada kegiatan belajar mengajar dan evaluasinya.

2.        Rekrutmen tenaga guru kurang profesional
Dalam rekrutmen guru seharusnya menekankan kepada aspek profesionalisme yang tidak hanya menekankan pada aspek administrative semata tetapi juga menekankan aspek psikologis. Karena aspek kepribadian seharusnya juga menjadi hal yang penting bagi seorang guru.

3.        Depopulasi Guru Idola
Sosok guru adalah sosok yang harus memiliki kepribadian yang ditunjukkan dengan sikap arif, sabar, cerdas, dan memberikan keteladanan. Sehingga sosok guru adalah bisa “digugu dan ditiru”. Namun kenyataannya masih banyak sosok guru yang memiliki sikap yang bertentangan dengan sosok ideal guru. Masih banyak guru yang terlambat, pemarah, tidak member keteladanan yang menyebabkan menurunnya kredibilitas guru dihadapan siswanya.

4.        Demitologisasi profesi Guru
Menurut Tilaar (2002) secara garis besar terdapat enam wacana yang merupakan wadah tumbuhkembangnya berbagai mitos profesi guru yang menyebab citra Guru kehilangan daya tarik karena status profesi Guru yang hidup dalam dunia tradisional terus dipertahankan dalam zaman modern dewasa ini. Demitologisasi Profesi Guru tersebut dapat dilihat dalam matrik berikut:
Wacana
Mitos
Langkah Demitologisasi
1.    Status sosial
a.    Pahlawan tanpa tanda jasa
b.    Guru sama dengan pekerja social tanpa imbalan
a.        Berhak dihormati sebagai profesi yang terhormat
b.         Berhak memperoleh hak dan imbalan sesuai profesinya
2.    Status profesi
a.    Profesi terbuka
b.    Pekerjaan bagi setiap orang
a.    Profesi Guru punya syarat profesi yang obyektif
b.    Sanksi diperketat oleh organisasi profesi
3.    Gender
a.    Profesi perempuan
b.    Puas dengan imbalan minim
a.    Perempuan dan laki-laki harus memperoleh perlakuan yang sama
4.    Politik dan kekuasaan
a.    Pantang berpolitik
b.    Pantang menggalang kekuatan
a.    Pendidikan tidak boleh dijadikan alat politik
b.    Organisasi profesi sebagai kekuatan untuk tujuan profesi
5.    Ilmu pengetahuan
a.    Ilmu pendidikan mudah dikuasai
a.    Meningkatkan riset pendidikan dan memperkuat peran LPTK
6.    Organisasi profesi
a.     Profesi guru bertingkat
b.     PGRI hanya sebagai guru kecil
a.         Reorganisasi organisasi profesi (PGRI)
b.        Perkuat organisasi PGRI

5.        Kelayakan mengajar dan kesejahteraan guru
Apapun alasannya guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan pendidikan disamping diberi tugas mengajar dan “mendidik” guru juga dibebani tugas sebagai pelaku pembauran. Mengingat tugas tersebut kelayakan mengajar menjadi persyaratan mengajar yang harus dipenuhi. Kondisi guru kita sekarang cenderung memprihatinkan.
Sutardjo, 2004, menyatakan hasil survey yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan guru dalam mentransformasikan ilmu dan ketrampilan kepada siswa dari 22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan guru dalam bidang studinya saat mengajar memperlihatkan bahwa persentase guru yang memperoleh nilai tujuh (artinya cukup dalam penguasaan materi bidang studinya) relative sedikit (38,96%) dibandingkan mereka yang mendapat nilai kurang dari enam (Hamzah B Uno, 2007:135).
Duncan Grey dalam tilaar (2002) menyatakan para Guru dewasa ini kebanyakan buta dalam penguasaan teknologi informasi yang diperlukan. Oleh sebab itu sudah harus mulai dipersiapkan guru-guru generasi baru yang menguasai pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pembelajaran.
Mengingat sentralnya peran guru maka system penerimaan dan pembinaan guru harus dievaluasi dalam rangka memperbaiki system pendidikan nasional.
Apabila tingkat kelayakan mengajar sudah dipenuhi, tuntutan perbaikan kesejahteraan bagi guru harus menjadi agenda pokok program pemerintah.
Guru membutuhkan buku bacaan seperti koran dan televisi sebagai media informasi, sementara anak dan istri berdiri di rumah menanti datangnya gaji. Haruskah seorang guru nyambi pekerjaan lain seperti ngojek untuk menopang ekonomi ? Padahal kewibawaan guru harus dimiliki dan sangat erat hubungannya dengan pemilikan materi. Jika demikian adanya nyaris eksistensi guru sebagai ujung tombak pendidikan menjadi tumpul dan bukan tidak mungkin jika nantinya terbentuk generasi yang tumpul juga. Bukankah hal ini tidak kita inginkan ?

6.        Orang tua siswa dan masyarakat
Orang tua siswa selalu menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna di kelak kemudian hari. Untuk itu anaknya disekolahkan secara formal agar menjadi anak yang berkualitas. Akan tetapi sering harapan itu tidak seimbang.
Pasalnya orang tua sibuk dengan rutinitas tugas kesehariannya, pergi pagi pulang malam tanpa ada waktu senggang. Kapankah orang tua harus mengontrol, mengawasi dan mendidik putra putrinya? Ini dialami orang tua sibuk berstatus tinggi di kota.
Masyarakat selalu menyorot guru sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Guru diharapkan menyandang sifat-sifat yang semuanya merupakan ciri manusia yang handal kualitasnya. Namun disisi lain sebagian masyarakat memandang masuk LPTK keguruan sebagai pilihan yang nomor dua apalagi bagi anak-anak yang prestasinya baik. Bukankah semua ini merupakan suatu ketidaksinkronan/ kepincangan ?  Di satu sisi masyarakat mengharapkan kualitas seorang guru akan tetapi di sisi lain tidak mendukung pembentukan bibit guru yang berkualitas. Karena biasanya guru yang berkualitas berasal dari siswa yang juga berprestasi. Walaupun siswa berprestasi bukan jaminan menjadi sosok yang berkualitas mengingat kriteria kualitas tidak hanya diambil dari prestasi nilai kognitifnya saja.

7.        Siswa selaku subyek pendidikan
Minat belajar sangat penting dalam belajar dan pendidikan. Kurangnya minat baca bagi siswa mengawali rendahnya kualitas siswa itu sendiri. Sementara mereka senang membicarakan tokoh-tokoh sukses, orang-orang tenar, kaya, cendekiawan, insinyur dan lain sebagainya. Disisi lain mereka masih enggan untuk belajar, membaca dan tak mau melirik perpustakaan. Budaya ngobrol, nonton TV, nongkrong  dan kumpul-kumpul agaknya mengangkangi proporsi waktu hari-hari yang dilewatinya

8.        Rendahnya anggaran sarana dan prasarana pendidikan
Dalam proses pembelajaran masalah sarana dan prasarana menjadi sangat pokok untuk disiapkan. Sudahkah semua itu memadai? Sudah tepatkah penggunaan anggaran di sekolah masing-masing?   Sudahkah direalisasikan anggaran untuk bidang pendidikan sebanyak 20 %  dari APBN?
Kalaupun terjadi peningkatan anggaran masih belum menyentuh sisi kualitas sumber daya manusia terutama Guru, mengingat guru sebagai peran sentral dalam pendidikan. Pendidikan dan pembelajaran berkualitas muncul dari guru yang berkualitas bukan dari gedung yang mewah, sementara kenaikan anggaran lebih banyak digunakan untuk pembangunan yang sifatnya fisik. Pendidikan dan latihan anggarannya meningkat juga belum menyentuh sisi kualitas materi pelatihan baru memindahkan tempat pelatihan dari hotel melati ke hotel berbintang sehingga tidak menyentuh esensi tujuan pelatihan yang sebenarnya.

9.        Alat evaluasi di sekolah
Soal ulangan harian, ulangan mid semester, ulangan umum dan soal ujian nasional persekolahan kita selalu menerapkan soal pilihan ganda. Anak tidak pernah bermain bahasa dengan bahasanya sendiri. Anak hanya disuguhi  pilihan yang cara pengerjaannya pun bisa dilakukan dengan ngawur. Anak selalu bisa mengerjakan beberapa soal dalam waktu hanya hitungan menit.  Semua soal bisa terselesaikan. Anak hanya berpikir sepotong-sepotong dan tidak berpikir secara utuh dalam menghadapi setiap butir soal.
Bentuk soal pilihan ganda tidak mendidik siswa kita untuk berfikir kreatif tetapi mendidik anak untuk berbuat spekulasi, padahal tantangan abad 21 mengharapkan sekolah mampu melahirkan seorang pemikir bukan seorang yang cenderung ngawur dalam berbuat dan ceroboh. Mestinya penilaian kita harus bervariasi sesuai dengan tujuan pendidikan kita dan seimbang antara penilaian aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

10.    Maraknya system penerimaan kerja melalui jalur KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)
Anak tidak termotivasi belajar yang keras karena ada jalan pintas mencari pekerjaan dengan  model kolusi. Apabila sistem ini terus membudaya dalam masyarakat maka akan menghancurkan tumbuhnya jiwa  kemandirian dan mematikan kreativitas pada generasi masa depan.

11.    Depolitisasi kebijakan pendidikan
Pengalaman menunjukkan bahwa setiap pergantian pimpinan maka akan muncul pemikiran baru yang cenderung tidak memiliki kesinambungan dengan kebijakan yang lama. Perubahan kebijakan tersebut cenderung bernuansa “Politis” ketimbang berdasarkan perubahan filosofis serta substansinya. Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Tilaar (2004) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan tidak dengan sendirinya meningkatkan mutu pendidikan dalam arti mutu belajar mengajar, tetapi hanya akan memindahkanborok-borok pendidikan dari pusat kedaerah. Namun demikian desentralisasi pendidikan perlu dalam menumbuhkan sikap demokrasi namun desentralisasi pendidikan belumlah segalanya jika tidak diikuti dengan usaha perbaikan disegala bidang yang berkaitan.

12.    Penempatan pejabat tidak sesuai dengan kompetensinya.
Penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensinya juga terjadi didunia pendidikan. Sering terjadi penempatan pejabat hanya berdasarkan keinginan pejabat bukan berdasarkan kompetensinya.


13.    Fenomena Pendidikan Gratis
Di tengah carut marutnya dunia pendidikan dewasa ini, issue “pendidikan gratis” ternyata menjadi komoditi politik dalam berbagai suksesi kepala daerah di Indonesia. Jargon politik tersebut cukup ampuh untuk dijadikan sebagai daya pikat bagi segelintir orang yang berkepintingan untuk mendapat dukungan publik yang memang mayoritas membutuhkan kebijakan tersebut. Seberapa perlukah negeri ini memberlakukan kebijakan ini?
Program sekolah gratis ini sudah dijalankan di berbagai daerah, namun demikian belum ada laporan yang menyatakan bahwa pendidikan gratis ini sudah ditangani secara sungguh-sungguh dan merata di seluruh Indonesia. Sehingga “ide pendidikan dasar 9 tahun (6 tahun SD dan 3 tahun SMP) hanya indah diatas kertas, apalagi hanya berisi slogan janji untuk pendidikan gratis” pada saat kita kesulitan dana pembangunan, walaupun sudah meminjam dana dari negara asing program wajib belajar 9 tahun belum berhasil, karena tidak ada political will pemerintah yang betul-betul mendukung program ini, terutama dari segi pendanaannya.
Di sisi lain sesungguhnya tidak ada “pendidikan gratis, yang terjadi adalah biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah atau pihak lain. Sebab, dampak mencuatnya issue pendidikan gratis telah menciptakan apatisme masyarakat untuk memajukan dunia pendidikan. Masyarakat semakin apatis, cuek, kurang peduli, dan sebagainya.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.

Mencermati berbagai permasalahan dan tantangan pendidikan kedepan maka perubahan mendasar dalam pengelolaan pendidikan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kita tentu tidak ingin system pendidikan kita makin lama semakin terpuruk tetapi kita pasti menginginkan pendidikan kita menjadi sejajar dengan Negara lain.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan baik oleh jajaran birokrasi pendidikan maupun masyarakat umum dalam menata pendidikan kita agar unggul dimasa yang akan datang, diantaranya:
a.       Pendidikan harus ditafsirkan secara luas, pendidikan jangan dibatasi sebagai schooling, sehingga tanggungjawab pendidikan bukan dilimpahkan semuanya ke sekolah tetapi juga kepada masyarakat.
b.      Melakukan perubahan atas kesalahan dalam system pendidikan kita
c.       Guru harus professional
d.      Kelayakan guru dan kesejahteraan harus diperhatikan
e.       Efisiensi pemanfaatan anggaran pendidikan
f.       Kebijakan pendidikan bebas dari intrik politik
g.      Penempatan pejabat sesuai dengan kompetensinya “right man on the right place”
h.      Rekrutmen tenaga guru harus profesional
Bagaimana mengatasi sederetan fenomena dan kepincangan yang masih marak di lapangan tersebut. Tidak semudah yang kita inginkan mengatasi fenomena yang kompleks itu. Perlu perencanaan yang matang, upaya yang ekstra keras dan pengawasan yang baik dalam pelaksanaan proses belajar mengajar demi keberhasilan terbentuknya sumber daya mnanusia yang berkualitas.
Ada beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam rangka menata pendidikan kita kedepan. Langkah pertama adalah menempatkan anggaran pendidikan pada posisi yang optimal. Peningkatan anggaran tersebut digunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan peningkatan kualitas guru. Seperti halnya dosen pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih bagi peningkatan kualitas guru dalam hal pemberian beasiswa belajar. Sangat ironis jika guru dituntut untuk menghasilkan sumberdaya yang berkualitas jika kualitas guru sendiri masih dipertanyakan. Langkah kedua, memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat harus menyadari bahwa tanggungjawab pendidikan tidak hanya dibebankan kepada sekolah tetapi juga menjadi tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Langkah ketiga menumbuhkembangkan siswa untuk lebih meningkatkan semangat belajar, membaca, terampil, kreatif dan kritis terhadap lingkungan.


DAFTAR RUJUKAN

Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara, Bandung, 2007.

Tilaar, H.A.R, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

Tilaar, H. A. R, Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

------------------, Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.






2 komentar:

  1. Salam,
    Nama saya Imelda, asal dari Makassar, saya masih berstatus mahasiswa baru untuk program s3 di Malaysia.
    Sekarang saya sedang mengumpulkan data tentang issu-issu pendidikan di Indonesia.
    Tetapi, terus terang saya tidak begitu mengetahui tentang issu pendidikan di Indonesia, untuk itu dengan segala hormat, mungkin Mas Sugiyanto bisa memberi saya inspirasi.

    Wassalam,
    Imelda

    BalasHapus
  2. Terima kasih telah memberikan komentar kepada tulisan saya, maksud isue-isue pendidikan itu yang mana ? isue seperti yang saya tulis atau isu yang lain. Semoga bisa bertukar informasi

    BalasHapus