Rabu, 11 Mei 2011

Teori-teori Kontemporer, Konteks Sosial Dalam Perkembangan, dan Perkembangan Sosioemosional


Bab I Pendahuluan

A.      Latar Belakang
Kemampuan sosioemosional merupakan fundasi bagi perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya secara lebih luas. Dalam berinteraksi dengan orang lain, individu tidak hanya dituntut untuk mampu berinteraksi secara baik dengan orang lain, tetapi terkait juga didalamnya bagaimana ia mampu mengendalikan dirinya secara baik. Ketidakmampuan individu mengendalikan dirinya dapat menimbulkan berbagai masalah sdengan orang lain.  
Sejak usia kanak-kanak, memasuki masa sekolah masa remaja awal sampai mereka memasauki tahap dewasa awal, masalah-masalah sosial emosional sudah dapat kita identifikasi dari berbagai perilaku yang ditampakkan anak, diantaranya anak selalu ingin menang sendiri, bersikap agresif, cepat marah, setiap keinginannya selalu harus dituruti, membangkang bahkan menarik diri dari lingkungannya dan tidak mau bergaul dengan teman-temannya. Permasalahan sosioemosional ini bila dibiarkan begitu saja akan berkembang menjadi permasalahan yang lebih luas dan kompleks karena anak akan berkembang ke arah yang lebih buruk, terbentuknya kepribadian yang tidak baik dan berakibat munculnya perilaku-perilaku negatif yang tidak diharapkan. Dengan kata lain anak akan mengalami kesulitan dan hambatan dalam proses perkembangannya. Untuk membantu mengurangi ketidakmampuan anak berperilaku sosioemosional yang baik, dan membantu menyiapkan anak memasuki lingkungan pergaulan yang lebih luas, dibutuhkan layanan bimbingan yang memadai.
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak melakukan fungsi sosialisasinya. Proses yang terjadi antara anak dan orangtua tidaklah bersifat satu arah, namun saling mempengaruhi satu sama lain. Artinya, anak belajar dari orangtua, sebaliknya, orangtua juga belajar dari anak. Proses sosialisasi yang terjadi dalam keluarga lebih berbentuk sebagai suatu system yang interaksional. Karena gaya parenting orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak.
Konteks sosial di luar keluarga pada anak-anak adalah teman sebaya. Pada teman sebaya inilah, anak memperoleh informasi dan perbandingan tentang dunia sosialnya. Anak juga belajar tentang prinsip keadilan melalui konflik-konflik yang terjadi dengan teman-temannya. Pada masa kanak-kanak, teman sebaya yang dipilih biasanya terkait dengan jenis kelamin. Selain itu proses perkembangan sosioemosioanal anak jugadapat dibentuk melalui pendidikan disekolah dari sana mereka dapat melahat dunia secara luas dan mengembangkan hubungan sosialnya dalam masyarakat.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah inti Teori Ekologi Baronfenbrener dan Teori Rentang Perkembangan Erikson serta hubungannya dengan perkembangan sosioemosional?
2.      Bagaimanakah hubungan keluarga, rekan sebaya, dan sekolah dalam perkembangan sosioemosional anak?
3.      Apakah yang menjadi aspek perkembangan sosioemosional anak (penghargaan diri, identitas diri dan konsep moral)?
C.  Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1.      Untuk mengetahui inti Teori Ekologi Baronfenbrener dan Teori Rentang Perkembangan Erikson dan hubungannya dengan perkembangan sosioemosional?
2.      Untuk mengetahui hubungan keluarga, rekan sebaya dan sekolah dalam perkembangan sosioemosional anak
3.      Untuk mengetahui aspek perkembangan sosioemosional anak (penghargaan diri, identitas diri dan konsep moral).












Bab II Pembahasan

A.           Teori Ekologi Bronfenbrenner
Teori Ekologi yang dikembangkan oleh Bronfenbrenner (1917) focus utamanya adalah pada konteks social dimana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan anak.  Dalam teori ekologi Bronfenbrenner terdiri atas lima system lingkungan yang meliputi dari interaksi interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih luas. Kelima system system itu adalah sebagai mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem.
Sebuah mikrosistem adalah setting dimana individu banyak menghabiskan waktu. Beberapa konteks system ini adalah keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga. Dalam mokrosistem ini individu berinteraksi langsung dengan orang tua, guru, teman seusia, dan orang lain. Menurut teori ini murid bukan penerima informasi secara pasif, tetapi murid adalah orang yang berinteraksi secara timbal-balik dengan orang lain dan membantu nmengkonstruksi setting tersebut.
Sebuah mesosistem adalah kaitan antara mikrosistem.Contohnya adalah hubungan antara pengalaman dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah, dan antara keluarga dan teman sebaya. Misalnya salah satu mesosistem penting adalah hubungan antara sekolah dan keluarga. Murid yang diberikan kesempatan lebih banyak untuk berkomunikasi dan mengambil keputusan baik itu di keluarga atau dikelas menunjukkan inisiatif dan akademik yang lebih baik.
Eksosistem (exosystem) terjadi ketika pengalaman setting lain (dimana murid tidak berperan aktif) mempengaruhi pengalaman murid dan guru dalam konteks mereka sendiri. Misalnya dewan sekolah dan dewan pengawas taman dalam suatu komunitas. Mereka memegang peran kuat dalam menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi, dan perpustakaan. Keputusan mereka bisa membantu atau menghambat perkembangan anak.
Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup peran etnis dan factor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas dimana murid dan guru tinggal, termasuk adat istiadat, nilai masyarakat. Misalnya kultur beberapa Negara islam menekankan peran gender tradisional, sementara Negara AS menerima peran gender yang lebih bervariasi. Dinegara Islam lebih mendominasikan pendidikan kepada pria sedang di AS mendukung kesetaraan antara pia dan wanita.
Kronosistem adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Misalnya murid sekarang ini tumbuh sebagai generasi yang pertama (Louw, 1990). Anak-anak sekarang adalah generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik yang dipenuhi oleh computer dan bentuk media baru, generasi pertama dalam revolusi seksual, dan generasi pertama yang tumbuh dalam kota yang semrawut, yang tidak jelas antara batas antara kota dan desa.
Mendidik anak berdasarkan teori Brefenbrenner adalah sebagai berikut:
1.      Pandanglah anak sebagai sosok yang terlibat dalam berbagai system lingkungan dan dipengaruhi oleh system-sistem itu. Lingkungan itu antara lain sekolah dan guru, orang tua dan saudara kandung, komunitas dan tetangga, teman dan rekan sebaya, media, agama dan kultur.
2.      Perhatikan hubungan antara sekolah dan keluarga, jalin melalui saluran formal dan informal.
3.      Sadari arti penting dari komunitas, status sosioekonomi, dan kultur dalam perkembangan anak. Konteks social ini bisa sangat mempengaruhi perkembangan anak.
Gambar 1
Model Ekologi Brefenbrenner
B.            Teori Perkembangan Rentang Hidup Erikson
Teori Erikson melengkapi analisis Bronfenbrenner terhadap konteks social dimana anak tumbuh dan orang-orang yang penting bagi kehidupan anak. Erikson (1902-1994) mengemukakan teori perkembangan seseorang melalui delapan tahapan yang kemudian dikenal dengan teori psikososial.. Kedelapan tahap perkembangan akan dilalui oleh orang di sepanjang hidupnya, masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang dihadapi oleh individu yang mengalami krisis. Hasil dari tiap tahap tergantung dari hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis  adalah penting bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal.Semakin sukses seseorang mengatasi krisisnya semakin sehat psikologi individu tersebut. Masing-masing tahap punya sisi positif dan negative.
1.      Tahap I:  Oral Sensory (bayi).  Tahap psikososial pertama oleh Erikson disebut sebagai rasa percaya versus rasa tidak percaya (trust versus mistrust).  Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan, kehangatan, dan persahabatan yang menyenangkan, sehingga timbul kepercayaan, sebaliknya ketidakpercayaan akan tumbuh jika bayi diperlakukan terlalu negative atau diabaikan.
2.      Tahap II:  Anal Musculature (masa kanak-kanak awal). yang kedua disebut sebagai otonomi versus rasa malu dan ragu (autonomy versus shame and doubt). Tahap ini terjadi pada masa akhir (late infancy) dan masa belajar berjalan (toddler). Setelah mempercayai pengasuhnya sang bayi mulai menemukan bahwa tindakannya adalah tindakannya sendiri. Mereka menyadari kehendaknya sendiri pada tahap ini anak akan melakukan apa yang diinginkan dan menolak apa yang diinginkan. Jika bayi dibatasi atau terlalu keras dihukum akan mengembangkan rasa malu dan ragu.
3.      Tahap III:  Genital Locomotor (masa kanak-kanak awal hingga madya).  Erikson menyebut tahap ketiga ini sebagai inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt).  Saat anak merasakan dunia social yang lebih luas, mereka lebih banyak mendapat tantangan ketimbang saat bayi. Untuk mengatasi tantangan ini mereka harus aktif dan tindakannya mempunyai tujuan. Dalam tahap ini orang dewasa berharap anak menjadi lebih tanggungjawab.
4.      Tahap IV:  Latency (masa kanak-kanak madya hingga akhir).  Tahap ke empat oleh Erikson disebut sebagai Usaya versus inferioritas. Tahap ini terjadi kira-kira pada masa sekolah dasar, dari usia enam tahun hingga usia puber atau awal remaja. Inisiatif anak membuat mereka berhubungan dengan banyak pengalaman baru.Saat mereka masuk sekolah dasar mereka menggunakan energinya untuk menguasai pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Masa kanak-kanak akhir adalah masa dimana anak paling bersemangat untuk belajar, saat imajinasi mereka berkembang. Bahaya masa ini muncul perasaan rendah diri, ketidakproduktivan dan inkompetensi.
5.      Tahap V:  Puberty and Adolescence (masa remaja).  Tahap kelima adalah tahapan Erikson yang paling penting dan paling berpengaruh, yaitu identitas versus kebingungan peran (identity versus role confusion).  Pada tahap ini remaja berusaha untuk mencari jatidirinya, apa makna dirinya, dan kemana mereka akan menuju. Mereka akan banyak peran baru dan status dewasa (seperti pekerjaan dan pacaran) Remaja ini perlu diberi kesempatan mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami identitas dirinya. Apabila remaja tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda dan tidak merancang jalan masa depan yang positif, mereka bisa tetap bingung akan identitas diri mereka.
6.      Tahap VI:  Young Adulthood (masa dewasa muda).  Tahap ke enam disebut sebagai keintiman versus kesendirian (intimacy versus isolation).  Tugas perkembangannya adalah membentuk hubungan yang positif dengan orang lain. Erikson mendeskripsikan intimasi sebagai penemuan diri sendiri tetapi kehilangan diri sendiri dalam diri orang lain.  Bahaya pada tahap ini adalah orang bisa gagal membangun hubungan dekat dengan pacar atau kawannya dan terisolasi secara social. Bagi individu seperti ini kesepian bisa membayangi seluruh hidup mereka.
7.      Tahap VII:  Adulthood (masa dewasa menengah). Tahap ini pada masa dewasa pertengahan, sekitar usia 40-an dan 50-an. Generativity berarti mentransmisikan sesuatu yang positif pada generasi selanjutnya. Ini bisa berkaitan dengan peran seperti parenting dan pengajaran. Melalui peran itu orang dewasa membantu generasi selanjutnya untuk mengembangkan hidup yang berguna. Stagnasi sebagai perasaan tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu generasi selanjutnya.
8.      Tahap VIII:  Maturity (masa dewasa akhir).  Tahapan ke delapan dan terakhir oleh Erikson disebut sebagai integrasi ego versus keputusasaan (ego integrity versus despair).  Pada tahap usia lanjut ini,  mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat makna, memikirkan apa-apa yang telah mereka lakukan. Jika evaluasi retrospektif ini positif, mereka akan mengembangkan rasa integritas. Yakni mereka memandang hidup mereka sebagai hidup yang utuh dan positif untuk dijalani. Sebaliknya orang tua akan putus asa jika renungan mereka kebanyakan negative.
Gambar 2
Tahap Rentang Hidup Erikson
Tahap Erikson
Periode Perkembangan
Integritas vs putus asa
Dewasa akhir (usia 60 tahun keatas)
Generative vs stagnasi
Dewasa pertengahan (usia 40-an, 50-an)
Intimasi vs isolasi
Dewasa awal usia (20-an, 30-an)
Identitas vs kebingungan identitas
Remaja (10 sampai 20)
Usaha vs inferioritas
Kanak-kanak pertengahan dan akhir (SD, 6 sampai puber)
Inisiatif vs rasa bersalah
Kanak-kanak awal (prasekolah, 3,5 tahun)
Otonomi vs malu dan ragu
Masa bayi (tahun kedua)
Percaya vs tidak percaya
Bayi (tahun pertama)

B. Konteks Sosial  dalam Perkembangan
1.  Keluarga
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pelajaran (pendidikan). Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati. Suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak
Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang berbeda-beda.  Beberapa orang tua mengasuh dan mendidik anak mereka dengan benar. Orang tua lainnya bersikap kasar atau mengabaikan anaknya. Beberapa anak orang tuanya bercerai,  anak lainya tinggal bersama orang tua yang lengkap tanpa perceraian. Beberapa keluarga hidup dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan, beberapa keluarga lainnya hidudalam kondisi ekonomi sederhana. Situasi yang bervariaasi ini akan mempengaruhi perkembangan anak dan mempengaruhi murid didalam dan diluar lingkungan sekolah (Crowan & Crowan, 2002 dan Morrisan dan Cooney, 2002).
a.      Gaya Parenting (gaya asuh)
Baumrin mengatakan ada empat bentuk gaya pengasuhan atau perentin:
1)      Authoritarian Perenting
Merupakan gaya asuh yang bersifat menghukum dan membatasi. Dimana hanya ada sedikit percakapan antara orang tua dan murid, menghasilkan anak yang tidak kompeten secara sosial.
2)      Authoritative Pareting
Merupakan gaya asuh yang positif yang mendorong anak untuk independen tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan mereka. Perbincangan saling tukar pendapat diperbolehkan dan orang tua bersikap membimbing dan mendukung. Menghasilkan anak yang kompeten secara sosial. Anak cenderung mandiri, tidak cepat puas, gaul, dan memperlihatkan harga diri yang tinggi.
3)      Neglectful Parenting
Gaya asuh dimana orang tua tidak terlibat aktif dan tidak perduli dengan kehidupan anaknya, orang tua hanya meluangkan sedikit waktu. Hasilnya anak anak sering bertindak tidak kompeten secara sosial. Mereka cendrung kurang bisa mengontrol diri, tidak cukup termotifasi untuk berprestasi
4)      Indulgend Parenting
Gaya asuh dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tapi tidak banyak memberikan batasan atau kekeangan pada perilaku mereka. Orang tua ini sering membiarkan anak mencari cara sendiri untuk mencapai tujuannya, bahwa orang tua model ini percaya bahwa kombinasi dukungan pengasuhan dan sedikit pembatasan akan menbentuk anak kreatif dan percaya diri.
    (Santrock, 2007)
b.      Keluarga yang berubah dalam masyarakat yang berubah
Anak-anak dari keluarga yang bercerai, perceraian dalam keluarga dapat memberikan dampak yang kompleks terhadap anak. Hal tersebut tergantung faktor-faktor seperti usia anak, kekuatan dan kelemahan anaksaat perceraian, tipe parenting, status social ekonomi dan pelaksanaan fungsi keluarga setelah perceraian. Adanya system pendukung seperti saudara kawan, guru,  dapat menciptakan hubungan positif yang terus berlanjut anatara ayah dan ibu yang sudah bercerai, kemapuan memenuhi kebutuhan keuangan dan kualitas sekolah dapat membantu anak dalam mengatasi situasi perceraian yang menekan.
Beberapa cara yang dilakukan guru untuk membantu anak yang tertekan akibat perceraian:
1)        Menghubungi orang tuanya
2)        Menyarankan untuk memcari bimbingan professional dalam maksud bimbingan konseling, yaitu dengan mengadakan pertemuan regular anatara anak dan orang tua yang dibimbing oleh professional mental atau guru yang memiliki keahlian khusus
3)        Membantu si anak dengan caramemberi perhatian yang lebih dan member bimbingan kepada mereka agar dapat mengatasi situasi dan berkosentrasi dalam pelajaran sekolah
4)        Anjurkan mereka membaca buku tentang perceraian

c.       Variasi etnis dan sosial ekonomi keluarga
Keluarga dalam kelompok etnis yang berbeda akan bervariasi dalam besar, strukturnya dan komposisinya: keterkaitan mereka dengan jaringan kerabat, dan level pendapatan dan pendidikannya.
Praktek pengasuhan anak berbeda-beda diantara keluarga yang bersatatus ekonomi tinggi, sedang dan rendah. Contohnya, orang tua yang berpendapatan rendah lebih sering menekankan pada karakteristik eksternal seperti kepatuhan dan kerapian. Sebaliknya keluarga yang status ekonomi menengah sering menekankan pada karakter nilai internal sepertikontrol diri dan penundaan rasa puas. Orang tua yang berstatus social ekonomi menengahlebih sering memuji, melengkapi disiplin dengan penalaran, dan mengajukan pertanyaan kepada anak. Orang tua berstatu ekonomi rendah, lebih mungkin menggunakan hukuman fisik dan mengkritik anaknya.
d.      Hubungan Sekolah-keluarga
Dalam teori Bronfendbrenner, hubungan antara keluarga dan sekolah adalah meso system yang penting. Demikian juga menurut studi Hetherington, lingkungan sekolah yang otoritatif akan mengunrungkan anak-anak dari beragam keluarga yang berbeda.
Joyce Epstai (1996, 2001: Epstain & Sanders, 2002) mendeskripsikan enam area dimana hubungan keluarga dan sekolah dibentuk:
1)      Menyediakan bantuan untuk keluarga. Sekolah dapat memberikan informasi kepada orng tua informasi tentang keterampilan bagaimana cara keluarga mendidik anak, menerangkan arti penting keluarga , perkembangan anak dan remaja dan konteks konteks rumah yang bisa memperkaya pembelajaran dikelas. Guru adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan hubungan antara sekolah dan keluarga.
2)      Berkomunikasi secara efektif dengan keluarga mengenai program sekolah dan kemajuan anak mereka. Hal ini dilakukan dengan mengajak orang  tua untuk mengadakan konferensi guru-orang tua dan fungsi-fungsi sekolah lainnya. Kehadiran orang tua dapat membuat murid tahu orang tua memperhatikan prestasi mereka di sekolah.
3)      Ajak orang tua untuk menjadi relawan.  Disekolah orang tua sebagai relawaan dan untuk meningkatkan  meningkatkan kehadiran dalam pertemuan sekolah.
4)      Libatkan keluarga dengan anak mereka dalam aktivitas belajar di rumah. Ini menggunakan anatara lain pekerjaan rumah dan aktivitas lain yang berhubungan dengan kurkulum pelajarann. Orang tua akan beerminat efektif jika mereka mempelajari strategi tutoring (mengajar) dan mendukung kegiatan sekolah.
5)      Libatkan keluarga sebagai partisipan dalam keputusan sekolah. Orang dua bisan di undang untuk menjadi dewan sekolah, komite sekolah, penasehat dan organisasi orang tua lainnya. Organisasi orang tua-guru dengan tujuan untuk melakukan diskusi tujuan pendidikan dan sekolah, metode belajar yang tepat sesuai dengan usia, disiplin anak, dan kinerja ujian
6)      Mengorganisasikan kerjasama komunitas. Membuat hubungan dengan upaya dan sumber daya komunitas bisnis, gen, perguruan tinggi dan universitas untuk memperkuat program sekolah, praktek keluarga, dan pembelajaran murit. Sekolah bisa member keluarga tentang program komunitas dan layanan komunitas yang bermannfaat bagi mereka.
2. Teman Sebaya
Selain keluarga dan guru, teman  seusia  atau teman sebaya juga mempermainkan peran penting dalam perkembangan anak. Dalam konteks perkembangan anak, teman sebaya  (seusia) adalah anak pada usia yang sama. Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira–kira sama. Sebaya memegang peran yang unik dalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting adalah memberikan informasi dan perbandingan tentang dunia diluar keluarga.
Piaget dan Sullivan memberikan penjelasan tentang peran sebaya dalam perkembangan sosioemosional. Mereka menekankan bahwa melalui interaksi sebayalah anak anak dan remaja belajar sebagaimana berinteraksi dalam hubungan yang simetris dan timbal balik. Dengan sebaya, anak–anak belajar memformulasikan dan menyatakan pendapat mereka, menghargai sudut pandang sebaya, menegosiasikan solusi atau perselisihan secara kooperatif, dan mengubah standart perilaku yang diterima semua.
Fungsi teman sebaya
1)        Teman sebaya ialah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama.
2)        Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting ialah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga
3)        Relasi yang buruk di antara teman-teman sebaya pada masa anak-anak diasosiasikan dengan suatu kecenderungan untuk putus sekolah dan perilaku nakal pada masa remaja
4)        Relasi yang harmonis di antara teman-teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan dengan kesehatan mental yang positif pada tengah baya.
a.      Status Teman Sebaya
Para developmentalis telah dengan tepat menunjukkan emapat tipe status teman sebaya: anak popular, anak diabaikan, anak ditolak, dan anak kontroversial. Anak populer (popular Children) sering kali dinominasikan sebagai kawan terbaik dan jarang dibenci teman sebayanya. Anak populer member dukungan, mau mendengar dengan perhatian, menjaga alur komunikasi dengan kawannya tetap terbuka, cendrung riang, bertindak mandiri, menunjukkan antusianisme dan perhatian kepada orang lain (Hartup,1983).
Anak diabaikan (neglegted children) jarang dinominasikan sebagai kawan terbaik, tetapi bukan tidak disukai oleh kawan seusianya.  Anak ditolak (rejected children) jarang dinominasikan sebagai kawan yang baik dan sering dibenci oleh teman seusianya. Anak yang ditolak mengalami masalah penyesuaian diri yang serius ketimbang anak yang diabaikan. Faktor penting dalam memprediksi apakah anak yang ditolak itu melakukan tindakan jahat atau keluar dari sekolah menengah adalah sikap agresinya terhadap teman sebayanya pada saat masih sekolah dasar. Anak controversial (controversial children) sering kali dinominasikan sebagai teman baik tetapi juga kerap tidak disukai.
Menurut piaget dan Kohlberg, melalui teman sebaya yang diwarnai dengan memberi dan menerima, anak–anak mengembangkan pemahaman sosial dan logika moral mereka. Anak–anak menggali prinsip keadilan dan kebaikan dengan menghadapi perselisihan dengan sebaya. Hubungan sebaya juga bisa berdampak negatif, ditolak atau diabaikan oleh sebaya membuat beberapa anak merasa kesepian dan dimusuhi. Lebih jauh, penolakan dan pengabaian oleh sebaya berhubungan dangan kesehatan mental individu dan masalah kriminal. Sebaya  dapat mengenalkan remaja pada alkohol, obat – obatan, kenakalan dan bentuk perilaku lain yang dianggap orang dewasa sebagai perilaku maladaptif.
b.      Persahabatan
Persahabatan memberikan kontribusi pada status teman usia sebaya dan memberikan keuntungan lainnya:
·         Kebersamaan. Persahabatan memberikan anak partner yang akrab, seseorang yang bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama
·         Dukungan fisik. Persahabatan memberikan sumberdaya dan bantuan disaat dibutuhkan
·         Dukungan ego. Persahabatan membantu anak merasakan bahwa mereka adalah anak yang bisa melakukan sesuatu dan layak dihargai, yang terpenting adalah penerimaan social dari kawannya
·         Intimasi/kasih sayang. Persahabatan memberianak suatu hubungan yang hangat, saling percaya dan dekat dengan orang lain. Dalam hal ini anak-anak sering kali merasa nyaman mengungkapkan informasi pribadi mereka.
(Santrock, 2007)
c.       Perubahan Developmen dalam hubungan teman sebaya
Pada masa sekolah dasar, kelompok teman seusia anak terdiri dari teman seusia dengan jenis kelamin yang sama. Anak laki-laki saling mengajarkan perilaku maskulin dan anak perempuan mengajarkan kultur wanita dan biasanya suka berkelompok dengan teman-temannya. Pada masa remaja awal, partisipasi dalam kelompok teman semakin meningkat . Mereka membentuk  kelompok kecil yang khusus atau disebut Klik (Clique) dan kesetiaan pada kelompok ini dapat mempengaruhi hidup mereka. Identitas kelompok dengan klik ini bisa mengaburkan identitas diri. Beberapa klik ini bisa mengaburkan identitas personal individu. Beberapa jenis klik, misalnya kelompok anak yang menyukai olah raga, anak populer, anak pintar, pencandu narkoba dan jagoan. Namun diantara beberapa anak sangat independen dan tak ingin masuk ke kelompok mana pun. Para remaja biasanya lebih tergantung pada kawan ketimbang pada orang tua mereka untuk memuaskan kebutuhan akan rasa kebersamaan, kepastian dan kedekatan.

3.  Sekolah
Sekolah merupakan pusat pendidikan formal. Tugas sekolah sangat penting dalam menyiapkan anak dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah bukan semata-mata sebagai konsumen, tapi sekolah juga sebagai produsen dan pemberi jasa yang erat kaitannya dengan pembangunan. Pembangunanan tidak mungkin berhasil tanpa tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas sebagai produk pendidikan. Sekolah banyak berperan dalam mengembangkan social emosional anak karena disekolah mereka mulai bergaul sebagai bagian dari anggota masyarakat.
a.   Konteks perkembangan sosial yang terus berkembang di sekolah
konteks sekolah bervariasi sejak masa kanak-anak awal (taman kanak-kanak), sekolah dasar hingga remaja. Masa kanak-kanak awal adalah sebuah lingkungan yang terlindung oleh batas-batas dalam ruang kelas. Dalam setting social yang terbatas ini, anak-anak berinteraksi dengan satu atau dua guru yang biasanya perempuan, yang menjadi figure utama dalam kehidupan mereka saat iitu. Anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya dalam kelompok kecil.  Ruang kelas merupakan konteks utama disekolah dasar, kelas lebih mungkin dirasakan sebagai unit social ketimbang kelaspada masa taman kanak-kanak. Pada masa SMP lapang sosialnya lebih luas bukan hanya ruang kelas saja. Remaja berinteraksi dengan guru dan teman seuria mereka dari berbagai kalangan dengan latar belakang kultur yang berbeda. Pada saat ini perilaku remaja makin mengarah pada interaksi dengan teman, ekstrakulikuler, klub dan komunitas. Murid SMA lebih menyadari sekolah sebagai system social dan mungkin termotivai untuk menyesuaikan diri dengannya atau menentang  (Santrock, 2007).
b.  Pendidikan masa kanak-kanak awal
Ada banyak variasi cara mendidik anak, namun banyak pakar yang sepakat agar pendidikan disesuaikan dengan perkembangannya.
Pendidikan yang sesuai secara development pendidikan jenis ini didasarkan pada pengetahuan perkembangan khas dari anak-anak dalam rentang usia (ketepatan usia) dan keunikan anak (ketepatan individual). Pendidikan yang sesuai dengan perkembangan bertentangan dengan praktek yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan yang mengabaikan metode kongkret dalam mengajar anak. Pengajaran langsung yang biasa berupa tulis baca, dianggap tidak sesuai dengan perkembangan. Pendidikan yang tepat adalah pendidikan secara development.
Berikut ini beberapa tema pendidikan yang tepat secara developmental (Santrock, 2007):
1)      Domain perkembangan anak-fisik, kognitif dan sosioemosional adalah domain yang berkaitan dan perkembangan dalam satu domain dapat  mempengaruhi dan dipengaruhi oleh domain lainnya.
2)      Perkembangan terjadi dalam urutan yang relative teratur dengan kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang terbentuk kemudian akan didasarkan kepada keahlian, kemampuan dan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya.
3)      Variasi individual mengkarakterisasi perkembangan anak. Setiap anak adalah individu yang yang unik dan semua anak punya kekuatan, kebutuhan, dan minat masing-masing. Mengenai variasi individu ini merupakan aspek utama untuk menjadi guru yang kompeten
4)      Perkembangan dipengaruhi oleh konteks social dan kultural yang beragam. Guru harus mengajar kultur mayoritas anak jika kultur mereka berbeda dengan kulturnya sendiri
5)      Anak-anak adalah pelajar aktif dan harus didorong untuk mengkontruksi pemahaman dunia disekitar. Anak-anak member kontribusiproses belajar mereka sendiri saat mereka berusaha member makna atas pengalaman keseharian mereka
6)      Perkembangan akan meningkat jika anak diberi kesempatan untuk mempraktikkan keahlian baru dan jika anak merasakan tantangan diluar kemampuan mereka saat itu.
7)      Anak-anak akan berkembang dengan amat baik dalam konteks komunitas dimana mereka aman dn dihargai, kebutuhan fisik terpenuhi dan mereka merasa aman secara psikologis.

c.       Transisi ke sekolah dasar
Saat menjalani transisi ke sekolah dasar, mereka berinteraksi dan megembangkan hubungan dengan anak baru sekolah memberi mereka banyak sumber ide untuk membentuk pemahaman tentang diri mereka.
d.      Sekolah untuk remaja
Ada perhatian khusus berkenaan dengan sekolah untuk remaja: (1) transisi dari SMP ke SMA, (2) sekolah yang efektif untuk remaja, (3) peningkatan kualitas sekolah menengah
Pada masa ini murid merasa lebih tidak tergantung pada orang tua dan lebih ingin menghabiskan banyak waktu dengan kawan-kawannya.
Berdasarkan pengamatan dan rekomendasi dari pakar dan pengamat pendidikandiseluruh negeri ada tiga ciri-ciri utama dari sekolah-sekolah terbaik:
1)        Sekolah yang mampu menyesuaikan semua kegiatan sekolah dengan variasi individu dalam pengembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional murid-muridnya
2)      Mereka memandang serius apa yg dikenal sebagai perkembangan remaja awal. Beberapa SMP hanya mempersispkan siswanya untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu contohnya ada sekolah efektif membuat kelompok kecil, dimana murid bekerjasama dengan sekelompok kecil guru yang berbeda-beda, tergantung kepada kebutuhan murid
3)      Sekolah-sekolah yang banyak perhatian pada perkembangan sosioemosional dan kognitif
Menurut Carrnegie untuk meningkatkan kualitas dan mutu sekolah mengah dilakukan hal-hal berikut ini:
1)   Pengembangan komunitas atau rumah yang lebih kecil untuk mengurangi sifat impersonal dari sekolah
2)   Melibatkan orang tua dan tokoh masyarakat dalam sekolah
3)   Menyusun kurikulum yang dapat menghasilkan murid melek huruf, memahami sains, dan punya pemahaman tentang kesehatan, etika, dan kewarganegaraan
4)   Membentuk tim guru dan kurikulum yang lebih fleksibel yang mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu, bukan sekedar memberi pelajaran kepada murid dengan  jam-jam pelajar  selama 50 menit yang terpisah dan tak terkait satu sama lain
5)   Meningkatkan kesehatan dan kebugaran murid melalui program disekolah dan membantu murid yang butuh perawatan kesehatan

C.           Perkembangan Sosioemosional
Sejauh ini kita telah mendiskusikan konteks penting yang mempengaruhi perkembangan sosioemosional pada murid pada keluarga, teman seusia, dan sekolah. Pada bagian ini kita akan memfokuskan pada murid itu sendiri yang berkaitan dengan perkembangan diri dan moralitas anak.
Diri, para psikolog sering menyebut “aku” ini sebagai “diri” (self). Ada dua aspek penting dalam diri ini, yakni harga diri (self-esteem) dan identitas diri.
Harga diri.
Penghargaan diri (self-esteem) adalah pandangan keseluruhan dari individu tentang dirinya sendiri. Penghargaan ini juga dinamakan martabat diri (self-worth) atau gambaran diri (self-image). Misalnya anak yang punya penghargaan diri yang tinggi mungkin tidak hanya memandang dirinya sebagai seseorang tetapi juga sebagai seseorang yang baik. Rogers (1961) mengatakan bahwa sebab utama seseorang mempunyai penghargaan diri yang rendah  (atau rendah diri) adalah karena mereka tidak diberikan dukungan emosional dan penerimaan social yang memadai. Mungkin dahulu saat masih berkembang sering ditegur. Misalnya “jangan ini, jangan itu”, “kamu kok bodoh banget”, dan lain-lain.
Para peneliti telah menemukan bahwa harga diri murid berubah pada saat mereka berkembang. Dalam suatu studi baik itu laki-laki atau perempuan mempunyai hatga diri yang tinggi pada saat anak-anak dan menurun pada masa remaja awal (Robins, dkk). Penghargaan diri anak gadis turun dua kali lebih besar dari  anak laki-laki selama masa remaja. Diantara beberapa alasan  yang menjadi penyebab menurunnya harga diri ini adalah akibat gejolak selama perubahan fisik (pubertas), meningkatnya tuntutan untuk berprestasi, dan kurangnya dukungan dari sekolah dan orang tua.
Riset menyarankan empat kunci untuk meningkatkan rasa harga diri anak (Bednar, Well & Peterson, 1995, Harter, 1999):
1)      Identifikasi penyebab rendah diri dan area kompetensi yang penting bagi diri. Apakah rendah diri karena prestasi sekolah? Karena konflik? Kemampuan social rendah? Murid mempunyai harga diri tinggi ketika mereka bisa kompeten dan sukses dalam melakukan sesuatu di area yang mereka anggap penting.
2)      Berikan dukungan emosional dan penerimaan social. Disetiap kelas punya anak yang banyak nilai buruknya. Mungkin anak ini berasal dari keluarga yang suka menghina dan merendahkan si anak atau mungkin murid ini di kelas yang terlalu banyak memberikan penilaian negative.  Dukungan emosional dan penerimaan social anda dapat amat membantu mereka menghargai diri mereka sendiri.
3)      Bantu anak untuk mencapai tujuan atau prestasi. Prestasi bida menaikkan harga diri. Pengajaran atau kursus ketrampilan akademik secara langsung dapat menaikan prestasi anak, dan akibatnya dapat menaikkan harga diri anak.
4)      Kembangkan ketrampilan mengatasi masalah. Ketika anak mempunyai problem dan bisa mengatasinya, bukan menghindarinya, maka rasa harga dirinya akan naik. Murid yang mau mengatasi masalah kemungkinan akan menghadai problem secara jujur dan realistis, ini menghasilkan pemikiran yang positif tentang diri mereka sendiri yang akibatnya bisa meningkatkan harga diri mereka.
Perkembangan identitas. Aspek penting lain selain diri adalah identitas. Menurut Erikson (1968) persoalan paling penting dalam diri remaja adalah perkembangan identitas yang berupa pencarian jawaban atas pertanyaan seperti: Siapa saya? Seperti apakan saya ini? Apa yang akan saya lakukan dalam hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul pada masa kanak-kanak tetapi sering muncul dimasa remaja dan perguruan tinggi.
Erikson menyimpulkan bahwa adalah penting untuk membedakan antara eksplorasi dan komitmen. Eksplorasi adalah pencarian identitas alternative yang bermakna. Komitmen adalah menunjukkan penerimaan personal pada satu identitas dan menerima apapun implikasi dari identitas itu. Berdasarkan klasifikasinya menurut komitmen dan eksplorasi terdapat empat tipe identitas.




Gambar 3
Empat Status IdentitasMarcia


Apakah orang itu membuat komitmen


Ya
Tidak
Apakah orang itu mengeksplorasi alternative yang bermakna yang berhubungan dengan persoalan identitas
Ya
Identity achievement
Identity moratorium
Tidak
Identity foreclosure
Identity diffusion

Identity diffusion, terjadi ketika individu belum mengalami krisis (yakni belum mengeksplorasi altrenatif yang bermakna) atau membuat komitmen. Mereka belum memutuskan pilihan pekerjaan dan ideology.
Identity Foreclosure, terjadi saat individu membuat komitmen tetapi belum mengalami krisis.
Identity Moratorium, terjadi ketika individu berada ditengah-tengah krisis tetapi komitmen mereka tidak ada atau baru didefinisikan secara samar-samar.
Identity Achievement, terjadi ketika individu telah mengalami krisis dan telah membuat komitmen.
Perkembangan Moral.
Hanya sedikit orang yang netral terhadap perkembangan moral. Banyak orang tua menghawatirkan kelau anak mereka tumbuh tanpa membawa nilai tradisional mereka. Perkembangan moral berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang interaksi yang adil antar orang. Atura ini dikaji dalam tiga domain, yaitu kognitif, behavioral, dan emosional.
Dalam domain kognitif isu kuncinya adalah bagaimana murid menalar atau memikirkan aturan untuk perilaku etis. Dalam domain behavioral  fokusnya adalah pada bagaimana murid  berperilaku secara actual. Dalam domain emosional penekanannya adalah pada bagaimana murid merasakan secara moral. Misalnya apakah perasaan bersalah yang kuat dipakai untuk menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang tiak  bermoral? Apakah mereka menunjukkan empati kepada orang lain?

1.         Teori Piaget.
Piaget menyusun teori tentang tahap perkembangan moral dengan tahap perkembangan.
1)             Heteronomous morality adalah tahap perkembangan moral pertama menurut Piaget. Tahap ini berlangsung kira-kira usia empat sampat tujuh tahun. Pada tahap ini keadilan dan aturan dianggap sebagai bagian dari dunia yang tak bisa diubah, dikontrol oleh orang.
2)             Autonomous morality adalah tahap perkembangan moral kedua, yang tercapai pada usia 10 tahun atau lebih. Pada tahap ini anak mulai mengetahui bahwa aturan dan hukum adalah perbuatan manusia dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan, niat pelaku dan konsekwensinya harus dipikir. Anak dalam usia tujuh sampai sepuluh tahun adalah masa transisi, dan karenanya mereka menunjukkan ciri-ciri dari kedua tahap ini.
2.         Teori Kohlberg
Seperti Piaget Kohlberg menandaskan bahwa perkembangan moral terutama melibatkan penalaran (reasoning) moral berlangsung pada tahapan-tahapan.
Konsep penting untuk memahami teri Kohlberg adalah internalisasi, yang berarti perubahan perkembangan dari perilaku yang dikontrol secara eksternal ke perilaku yang dikontrol secara internal.
1)      Preconventional reasoning (penalaran prakonvensional) adalah level terbawah dari perkembangan moral dalam teori Kohlberg. Pada level ini anak tidak menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral dikontrol oleh hukuman dan ganjaran eksternal.
2)      Conventional reasoning (penalaran konvensional) adalah tahap kedua atau tahap menengah. Pada level ini internalisasi masih setengah-setengah (intermediate). Anak patuh secara internal pada standar tertentu, tetapi standar itu pada dasarnya ditetapkan oleh orang lain, seperti orang tua atau aturan social.
3)      Postconventional reasoning (penalaran post konvensional) adalah level tertinggi dalam teori Kohlberg. Pada level ini moralitas telah sepenuhnya diinternalisasikan dan tidak didasarkan padastandar eksternal.
Ringkasan tiga level dan enam tahap perkembangan Kohlberg dapat disajikan dalam gambar berikut.
Gambar 4
Level dan Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Level 1
Level Prakonvensional
Tidak ada internalisasi
Level 2
Level Konvensional
Internalisasi Pertengahan
Level 3
Level Postkonvensional
Internalisasi penuh
Tahap 1
Heteronomous Morality
Tahao 2
Individualisme, Tujuan, dan Pertukaran
Level 3
Ekspektasi Interpersonal Mutual, Hubungan, dan Konformitas Interpersonal
Level 4
Morality Sistem Sosial
Level 5 Kontrak social dan Utilitas dan hak individual
Tahap 6 Prinsip Etika Universal
Anak patuh karena orang dewasa menyuruh mereka untuk patuh. Orang mendasarkan keputusan moralnya karena takut pada hukuman
Individu mengejar kepentingannya sendiri, tetapi membiarkan orang lain melakukan hal yang sama. Apa-apa yang benar myang seimbangelibatkan pertukaran
Individu menggunakan rasa percaya, perhatian, dan loyalitas kepada orang lain sebagai basis untuk penilaian moral.
Penilaian moral didasarkan pada pemahaman dan aturan social. Hukum. Keadilan dan kewajiban
Individu memahami bahwa nilai, hak, dan prinsip mendasari atau mengatasi hukum.
Orang telah mengembangkan penilaian moral bersadarkan hak azasi manusia yang universal. Ketika berhadapan dengan dilemma antara hukum dan dan kesadaran, yang akan diikuti adalah kesadaran individu seseorang.

Kritik terhadap  teori Kohlberg. Teori Kohlberg ini mendapatkan penentangan (Turiel, 1998), salah satu kritik yang kuat diarahkan pad aide bahwa pemikiran moral tidak selalu memprediksi perilaku moral. Kritik ini menyatakan bahwa teori Kohlberg terlalu banyak menekankan pada pemikiran moral dan tidak memberikan perhatian yang cukup pada perilaku moral. Alasan moral terkadang dapat menjadi dalih untuk perilaku yang tak bermoral. Penjahat perbankan dan Presiden AS bisa saja mendukung nilai moral yang luhur, tetapi perilakunya terbukti tidak bermoral.
Kritik lain menyatakan Kohlberg terlalu individualistis. Carol Gilligan (1982, 1998) membedakan antara perspektif keadilan (justice) dan perspektif perhatian (care). Perspektif keadilan yang berfokus pada hak-hak individual, yang berdiri sendiri dan menentukan moral sendiri. Perspektif perhatian memandang orang-orang sebagai individu yang saling berhubungan (connectedness). Penekanannya adalah pada hubungan dan perhatian pada oraang lain.
Pendidikan Moral.
Topik ini menjadi topic yang menarik dalam lingkungan  pendidikan. Dewey (1933) mengakui bahwa ketika sekolah tidak memberikan pelajaran khusus untuk pendidikan moral, sekolah memberikan pendidikan moral melalui “kurikulum tersembunyi”. Kurikulum tersembunyi diberikan melalui atmosfir moral yang menjadi Pendidikan karakter adalah pendekatan langsung pada pendidikan moral, yakni mengajari murid dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan tak bermoral yang membahayan orang lain, dan dirinya sendiri. bagian dari setiap sekolah. Suasana moral ini diciptakan oleh aturan sekolah dan aturan kelas, orientasi moral dari guru dan administrator,  dan teks materi pelajaran. Guru bertindak sebagai model perilaku etis dan tidak etis. Melalui aturan sekolah memasukkan system nilai ke sekolah.
Pendidikan karakter. Argumennya adalah bahwa perilaku seperti berbohong, mencuri adalah keliru dan murid harus diajari hal ini melalui pendidikan mereka. (Nucci, 2001).
Klarifikasi nilai-nilai. Pendekatan untuk pendidikan moral  yang menekankan pada upaya membantu orang untuk mengklarifikasi untuk apa hidup mereka dan apa yang layak untuk dikerjakan dalam hidup ini. Murid didorong untuk mendefinisikan sendiri nilai-nilai mereka dan memahami nilai diri orang lain.
Pendidikan moral kognitif. Pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal  seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang berkembang. Teori Kohlberg telah dijadikan sebagai landasan untuk banyak upaya pendidikan moral kognitif.
Pembelajaran Pelayanan. Pembelajaran layanan (service learning) adalah sebentuk pendidikan yang mempromosikan tanggungjawab social dan pelayanan kepada komunitas. Dalam pembelajaran layanan ini murid mungkin dilibatkan dalam tutoring, membantu orang jompo, magang dirumah sakit, membantu pusat perawatan. Tujuan penting dari pembelajaran layanan ini adal;ah agar siswa tidak egois dan lebih termotivasi untuk membantu orang lain. (Furco & Billing, 2001; Waterman, 1977).
Perilaku Prososial. Perilaku prososial adalah sisi positif dari perkembangan moral (yang jauh berbeda dengan perilaku antisocial seperti menipu, bohong, dan mencuri). Perilaku prososial adalah perilaku yang dianggap bersifat adil, berbagi perhatian, atau empatik (Eisenberg & Fabes, 1988). Beberapa strategi yang bisa dipakai untuk meningkatkan perilaku prososial murid, adalah sebagai berikut:
1)      Hargai dan tekankan konsiderasi kebutuhan orang lain.
2)      Jadilah contoh perilaku prososial.
3)      Beri label dan identifikasi perilaku prososial dan antisocial.
4)      Nisbahkan perilaku positif kepada setiap siswa.
5)      Perhatikan dan dorong perilaku secara social secara positif tetapi jangan terlalu banyak menggunakan ganjaran eksternal.
6)      Bantu anak untuk mengambil sikap dan memahami perasaan orang lain.
7)      Gunakan strategi disiplin yang positif.
8)      Pimpin diskusi tentang interaksi prososial.

















Bab III Penutup

A.           Simpulan
Perkembangan sosioemosional anak merupakan perkembangan yang sangat penting untuk diperhatikan mengingat perkembangan ini sangat mempengaruhi perkembangan mental anak secara lebih luas. Kemampuan sosioemosional merupakan fundasi bagi perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya secara lebih luas. Dalam berinteraksi dengan orang lain, individu tidak hanya dituntut untuk mampu berinteraksi secara baik dengan orang lain, tetapi terkait juga didalamnya bagaimana ia mampu mengendalikan dirinya secara baik. Ketidakmampuan individu mengendalikan dirinya dapat menimbulkan berbagai masalah sdengan orang lain. 
Mengingat pentingnya perkembangan sosioemosional ini maka peran lingkungan sangat berpengaruh terutama dalam memberikan nilai-nilai positif kepada perkembangan anak. Peran lingkungan ini mulai dari keluarga, teman sebaya, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas. Salah satu komponen lingkungan ini tidak berfungsi maka akan berakibat pada kurang efektifnya perkembangan social emosional anak sehingga anak akan cenderung berperilaku negative.
Selaian peran lingkungan peran diri sendiri dan juga sangat diperhatikan, karena masing-masing saling mempengaruhi. Kalau lingkungannya baik maka akan membawa dampak yang baik kepada diri sendiri sebaliknya kalau lingkungannya kurang baik maka akan membawa dampak negative pada diri sendiri juga.

B.            Saran
Mengingat pentingnya peran perkembangan pada diri sendiri dan lingkungan maka masing-masing komponen harus merasa bertanggungjawab memberikan masukan yang positif bagi perkembangan anak.
Pendidikan karakter dan perilaku prososial perlu dikembangkan dalam rangka memberikan perhatian kepada anak sehingga perkembangan sosioemosional anak menjadi tidak terganggu.


Daftar Rujukan

Santrock, John W, Psikologi Pendidikan, 2007, Jakarta.

Teori Ekologi Bronfenbrenner http://www.scribd.com/doc/3971974/TEORI-EKOLOGI-BRONFENBRENNER diunduh tanggal 7 Mei 2011

Perkembangan social dan emosional anak. http://www/Psikologi/Pendidikan/Bahan/Pendukung/perkembangan-sosial-dan-emosional-anak.html diunduh tanggal 7 Mei 2011.




1 komentar: