Kamis, 26 Mei 2011

Menembus Keterbatasan


MENEMBUS KETERBATASAN

Seorang gadis kecil tak bisa melihat dan mendengar. Baginya dunia begitu sunyi dan tanpa warna. Kedua indera yang begitu penting bagi kehidupan manusia tersebut lenyap diusia balita oleh sebuah penyakit. Walaupun mulutnya mampu mengeluarkan suara tapi ia tak mampu berbicara. Isyarat  yang ia gunakan sering tidak memadai, kegagalan mengkomunikasikan perasaan dan keinginan seringkali menimbulkan ledakan kemarahan dan amukan.
                Aku merasa seolah-olah ada tangan-tangan yang tak terlihat mencengkeramku dan aku berusaha untuk melepaskan diri. Kedua orang tuaku sangat sedih karena rumahku terpencil dan jauh dari sekolah tunarungu dan tunanetra.
                Akhirnya seorang guru datang membimbing, dan menuntunnya. Awalnya tak mudah.
Suatu kali ia merasa kesulitan mempelajari kata “water” lalu ia membanting bonekanya yang masih baru hingga hancur. Ia merasa senang ketika gurunya menyapu pecahan boneka tersebut. Tak ada kata menyesal bahkan ia puas karena telah melampiaskan rasa tidak nyamannya.
                 Apa yang dilakukan sang guru ? Ia membawa topi dan mengajak jalan keluar mereka berjalan keluar menuju sebuah sumur. Gurunya meletakkan tangannya dibawah saluran air. Saat merasakan sejuknya semburan air, ia mengeja kata “water”. Ia kemudian mengetahui bahwa sesuatu yang sejuk dan mengalir ditangannya adalah “water”. Ia baru menyadari bahwa sesuatu itu memiliki nama dan melahirkan gagasan. Ia merasa dunianya mulai bercahaya meski harus melalui perjuangan dan kerja keras untuk belajar dan belajar.
Dialah “Helen Keller” penyandang tunanetra dan tunarungu pertama yang meraih gelar sarjana. Selain bahasa Inggris, ia menguasai bahasa Jerman, Perancis dan Latin. Kata-kata mutiaranya tersebar dan hingga saat ini sering dikutip banyak orang.
                Sang guru yang mengajar penuh cinta adalah “Anne Sullivan” . Menurut Helen  “Awalnya aku hanya butiran-butiran kemungkinan. Gurukulah yang membuka  dan mengembangkan kemungkinan itu. Saat ia datang, segala segala yang kumiliki menghembus cinta dan kebahagiaan sehingga menjadi penuh makna. Sejak itu ia tak pernah melewatkan peluang untuk menunjukkan keindahan dalam segala hal ataupun berhenti berusaha dalam pikiran, tindakan dan tgeladan untuk membuat hidupku indah dan berguna”
Menurut Helen semua guru bisa membawa anak keruang kelas, tapi tidak semua guru bisa membuat muridnya bisa belajar.
Kecerdasan Guruku, simpati, dan kasih sayangnya telah membuat tahun-tahun pertama pendidikanku begitu indah. Guruku sangat dekat denganku sampai-sampai aku tak pernah berfikir jauh darinya. Tak ada bakat, mimpi dan kebahagiannku yang tak dibangkitkan oleh sentuhannya yang penuh kasih sayang”.
Dari kisah diatas memberikan gambaran begitu pentingnya peran seorang guru bagi perkembangan jiwa maupun kemampuan akademis anak.

“Meski digedung mewah, tanpa guru berkualitas proses pendidikan berkualitas tidak berlangsung, namun dengan guru berkualitas dibawah sebatang pohonpun proses pendidikan berkualitas akan berlangsung.”

Tidak ada siswa yang bodoh tapi yang ada siswa yang belum menemukan guru yang terbaik (Yohanes Surya)

Jika kamu tidak mencintai pekerjaan yang sedang kamu lakukan kamu akan sakit secara fisik, mental, atau spiritual bahkan bisa jadi kamu akan membikin orang lain ikut sakit. Lorraine Monroe

KESUKSESAN ADALAH SUKSES TERHADAP  TUHAN  YANG MAHA ESA, SUKSES SEBAGAI PRIBADI, SUKSES BAGI  ORANG LAIN
Salam hangat untuk semua Guru dan Guruku….

Senin, 23 Mei 2011

Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran


PENERAPAN TIK DALAM PEMBELAJARAN

Teknologi Informasi dan Komunikasi didefinisikan sebagai seperangkat alat teknologi dan sumber daya yang digunakan untuk berkomunikasi, dan untuk membuat, menyebarkan, menyimpan, dan mengelola informasi. Teknologi ini termasuk komputer, Internet, penyiaran teknologi (radio dan televisi), dan telepon.
Globalisasi menyebabkan munculnya ekonomi global yang berimplikasi kepada terbukanya peluang bagi dunia pendidikan untuk menggunakan teknologi secara luas. Sehingga dalam paradigma pendidikan mengalami pergeseran dan pengajaran menjadi pembelajaran. Pembelajaran adalah proses mempengaruhi seseorang untuk belajar sehingga dapat dikatakan "belajar untuk belajar,": yaitu, perolehan pengetahuan dan keterampilan yang membuat terus belajar sepanjang waktu. Dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi  prinsip belajar sepanjang hayat ini dapat terjembatani. Sehingga peran TIK dalam pembelajaran sangat sentral di era Globalisasi sekarang ini.Simak
Baca secara fonetik
Kamus

Penerapan TIK dalam pembelajaran secara umum sudah mengalami kemajuan hal ini dapat terlihat dari beberapa sekolah yang sudah menerapkan TIK dalam pembelajaran di kelas.  Sebagai indicator kemajuan TIK dalam pembelajaran di sekolah, diantaranya sudah ada peningkatan jumlah sekolah yang  memiliki website dan menerapkan TIK dalam pembelajaran di sekolah. Mengingat TIK dapat mempermudah pembelajaran yang sulit sehingga akan membantu guru dalam mencapai tujuan pembelajaran dalam kelas. Dampak dari pemanfaatan TIK dalam pembelajaran ini sudah cukup baik bagi siswa, guru maupun sekolah secara umum. Walaupun sudah mengalami kemajuan tetapi  tetapi ada beberapa hambatan yang perlu mendapatkan perhatian bersama. Beberapa hambatan itu diantaranya ialah:
1.         Kurangnya kebijakan dalam pengembangan TIK di sekolah
Secara umum kepala sekolah belum mempunyai persamaan persepsi dalam hal pengembangan TIK di sekolah. Kepala sekolah masih belum banyak yang memandang perlu pengembangan TIK di sekolah karena sebagian besar kepala sekolah masih memandang TIK sebagai sesuatu yang mahal yang belum perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan. Walaupun sudah ada tetapi jumlah kepala sekolah yang sudah memiliki komitmen dalam pengambangan TIK masih sedikit.
2.         Kurangnya fasilitas TIK dalam pembelajaran di sekolah
Kurangnya fasilitas ini dapat dilihat dari masih banyaknya sekolah yang belum memiliki fasilitas listrik, kalaupun sudah mempunyai fasilitas listrik sekolah tersebut belum banyak yang memiliki jaringan internet sebagai penyedia layanan. Dalam hal ini pemanfaatan TIK baru sebatas penggunaan Tape Recorder maupun OHP.
3.          Masih kurangnya kemampuan guru dalam menggunakan TIk dalam pembelajaran.
Kurangnya kemampuan guru dalam pemanfaatan TIK merupakan masalah yang cukup serius dalam rangka pengembangan TIK dalam pembelajaran di sekolah. Pemerintah sudah berusaha meningkatkan kemampuan guru dalam TIK melalui pelatihan-pelatihan tetapi hasilnya belum menggembirakan. Kurangnya minat guru dalam pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran merupakan permasalahan yang serius untuk ditangani. Sebagian besar guru masih berfikiran tradisional sehingga belum memandang perlu mengintegrasikan TIK dalam pembelajaran.
Kurangnya fasilitas TIK sebenarnya  bukanlah menjadi halangan dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran apabila disertai “minat dan keinginan” yang tinggi bagi guru, kepala sekolah, maupun pemangkukebijakan di sekolah.  Selain minat dan keinginan memang perlu “Duit” dalam pengembangan TIK dalam pembelajaran yaitu perlu adanya “Dorongan”  yang kuat dari guru dalam memanfaatkan TIK, disertai “Usaha” yang keras dengan belajar dan perlu sedikit mengeluarkan “Investasi” dalam membelanjakan sebagian gaji kita untuk membeli fasilitas pendukung dalam TIK, dan “Tekat” yang kuat untuk hidup lebih maju dengan berusaha memanfaatkan TIK dalam pembelajaran. Hidup adalah perubahan,  kalau tidak dimulai dari sekarang kapan lagi ?.

Kamis, 19 Mei 2011

Fenomena Pendidikan di Indonesia


FENOMENA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Masalah pendidikan dewasa ini semakin menjadi perhatian. Tidak mengherankan mengingat pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat dan menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Kedudukan pendidikan sangat strategis menuju arah tercapainya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Berbagai upaya dihimpun dan dikerahkan untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pendidikan, terutama pendidikan formal di sekolah-sekolah. Namun pada kenyataannya peningkatan kualitas sumber daya manusia itu tidaklah mudah karena banyak fenomena di lembaga sekolah yang membuat tujuan pendidikan semakin sulit untuk dicapai. Berbagai fenomena yang terjadi di sekolah diantaranya sebagai berikut:
1.        Sistem pendidikan nasional
Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional sangat ideal yang masih sulit dicapai dengan sistem pendidikan kita sekarang ini. Dapat kita lihat sejauh mana pendidikan di sekolah berupaya membentuk siswa-siswanya menyandang sifat yang memuaskan seperti disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.
Akibat idealisme tujuan pendidikan yang terlalu tinggi sehingga ada kesalahan yang terjadi didunia pendidikan kita dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut.
Hamzah (2007) menyatakan ada sepuluh kesalahan dalam pendidikan kita yaitu (1) pendidikan terkesan sebagai pembelengguan, (2) pendidikan terkesan sebagai pembodohan, (3) pendidikan terkesan sebagai perampasan hak anak-anak, (4) pendidikan terkesan menghasilkan tindak kekerasan, (5) pendidikan terkesan sebagai pengebirian potensi, (6) pendidikan terkesan sebagai pemecah wawasan siswa, (7) pendidikan terkesan sebagai wahana disintegrasi, (8) pendidikan terkesan menghasilkan manusia otoriter, (9) pendidikan terkesan menghasilkan manusia apatis terhadap lingkungan, (10) pendidikan terkesan hanya terjadi di sekolah.
Hal ini dapat kita cermati dari beberapa fenomena pendidikan sekarang ini diantaranya ada “fenomena penyeragaman menjadi ciri khas sistem pendidikan kita. Siswa selalu dihadapkan berbagai keseragaman baik duduknya, pakaiannya, cara mengerjakan soal, cara berpikir, bertanya, buku maupun kurikulumnya. Di satu sisi memudahkan pengaturan siswa dan mengekang emosionalnya akan tetapi di lain pihak memenggal kebebasan siswa termasuk kognitifnya. Betapa tidak ! Siswa mau muncul, dikekang kurikulum. Mau lari dikekang penjadwalan dan mau tidur dikekang etika. Bukankah hal ini berarti mengebiri kreativitas siswa? Tidaklah sekolah malah menjadi pabrik pencetak manusia penurut ? Bukan lagi kreativitas yang diperoleh tetapi kebebasan berpikir terbelenggu dengan model-model hafalan pada kegiatan belajar mengajar dan evaluasinya.

2.        Rekrutmen tenaga guru kurang profesional
Dalam rekrutmen guru seharusnya menekankan kepada aspek profesionalisme yang tidak hanya menekankan pada aspek administrative semata tetapi juga menekankan aspek psikologis. Karena aspek kepribadian seharusnya juga menjadi hal yang penting bagi seorang guru.

3.        Depopulasi Guru Idola
Sosok guru adalah sosok yang harus memiliki kepribadian yang ditunjukkan dengan sikap arif, sabar, cerdas, dan memberikan keteladanan. Sehingga sosok guru adalah bisa “digugu dan ditiru”. Namun kenyataannya masih banyak sosok guru yang memiliki sikap yang bertentangan dengan sosok ideal guru. Masih banyak guru yang terlambat, pemarah, tidak member keteladanan yang menyebabkan menurunnya kredibilitas guru dihadapan siswanya.

4.        Demitologisasi profesi Guru
Menurut Tilaar (2002) secara garis besar terdapat enam wacana yang merupakan wadah tumbuhkembangnya berbagai mitos profesi guru yang menyebab citra Guru kehilangan daya tarik karena status profesi Guru yang hidup dalam dunia tradisional terus dipertahankan dalam zaman modern dewasa ini. Demitologisasi Profesi Guru tersebut dapat dilihat dalam matrik berikut:
Wacana
Mitos
Langkah Demitologisasi
1.    Status sosial
a.    Pahlawan tanpa tanda jasa
b.    Guru sama dengan pekerja social tanpa imbalan
a.        Berhak dihormati sebagai profesi yang terhormat
b.         Berhak memperoleh hak dan imbalan sesuai profesinya
2.    Status profesi
a.    Profesi terbuka
b.    Pekerjaan bagi setiap orang
a.    Profesi Guru punya syarat profesi yang obyektif
b.    Sanksi diperketat oleh organisasi profesi
3.    Gender
a.    Profesi perempuan
b.    Puas dengan imbalan minim
a.    Perempuan dan laki-laki harus memperoleh perlakuan yang sama
4.    Politik dan kekuasaan
a.    Pantang berpolitik
b.    Pantang menggalang kekuatan
a.    Pendidikan tidak boleh dijadikan alat politik
b.    Organisasi profesi sebagai kekuatan untuk tujuan profesi
5.    Ilmu pengetahuan
a.    Ilmu pendidikan mudah dikuasai
a.    Meningkatkan riset pendidikan dan memperkuat peran LPTK
6.    Organisasi profesi
a.     Profesi guru bertingkat
b.     PGRI hanya sebagai guru kecil
a.         Reorganisasi organisasi profesi (PGRI)
b.        Perkuat organisasi PGRI

5.        Kelayakan mengajar dan kesejahteraan guru
Apapun alasannya guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan pendidikan disamping diberi tugas mengajar dan “mendidik” guru juga dibebani tugas sebagai pelaku pembauran. Mengingat tugas tersebut kelayakan mengajar menjadi persyaratan mengajar yang harus dipenuhi. Kondisi guru kita sekarang cenderung memprihatinkan.
Sutardjo, 2004, menyatakan hasil survey yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan guru dalam mentransformasikan ilmu dan ketrampilan kepada siswa dari 22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan guru dalam bidang studinya saat mengajar memperlihatkan bahwa persentase guru yang memperoleh nilai tujuh (artinya cukup dalam penguasaan materi bidang studinya) relative sedikit (38,96%) dibandingkan mereka yang mendapat nilai kurang dari enam (Hamzah B Uno, 2007:135).
Duncan Grey dalam tilaar (2002) menyatakan para Guru dewasa ini kebanyakan buta dalam penguasaan teknologi informasi yang diperlukan. Oleh sebab itu sudah harus mulai dipersiapkan guru-guru generasi baru yang menguasai pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pembelajaran.
Mengingat sentralnya peran guru maka system penerimaan dan pembinaan guru harus dievaluasi dalam rangka memperbaiki system pendidikan nasional.
Apabila tingkat kelayakan mengajar sudah dipenuhi, tuntutan perbaikan kesejahteraan bagi guru harus menjadi agenda pokok program pemerintah.
Guru membutuhkan buku bacaan seperti koran dan televisi sebagai media informasi, sementara anak dan istri berdiri di rumah menanti datangnya gaji. Haruskah seorang guru nyambi pekerjaan lain seperti ngojek untuk menopang ekonomi ? Padahal kewibawaan guru harus dimiliki dan sangat erat hubungannya dengan pemilikan materi. Jika demikian adanya nyaris eksistensi guru sebagai ujung tombak pendidikan menjadi tumpul dan bukan tidak mungkin jika nantinya terbentuk generasi yang tumpul juga. Bukankah hal ini tidak kita inginkan ?

6.        Orang tua siswa dan masyarakat
Orang tua siswa selalu menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna di kelak kemudian hari. Untuk itu anaknya disekolahkan secara formal agar menjadi anak yang berkualitas. Akan tetapi sering harapan itu tidak seimbang.
Pasalnya orang tua sibuk dengan rutinitas tugas kesehariannya, pergi pagi pulang malam tanpa ada waktu senggang. Kapankah orang tua harus mengontrol, mengawasi dan mendidik putra putrinya? Ini dialami orang tua sibuk berstatus tinggi di kota.
Masyarakat selalu menyorot guru sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Guru diharapkan menyandang sifat-sifat yang semuanya merupakan ciri manusia yang handal kualitasnya. Namun disisi lain sebagian masyarakat memandang masuk LPTK keguruan sebagai pilihan yang nomor dua apalagi bagi anak-anak yang prestasinya baik. Bukankah semua ini merupakan suatu ketidaksinkronan/ kepincangan ?  Di satu sisi masyarakat mengharapkan kualitas seorang guru akan tetapi di sisi lain tidak mendukung pembentukan bibit guru yang berkualitas. Karena biasanya guru yang berkualitas berasal dari siswa yang juga berprestasi. Walaupun siswa berprestasi bukan jaminan menjadi sosok yang berkualitas mengingat kriteria kualitas tidak hanya diambil dari prestasi nilai kognitifnya saja.

7.        Siswa selaku subyek pendidikan
Minat belajar sangat penting dalam belajar dan pendidikan. Kurangnya minat baca bagi siswa mengawali rendahnya kualitas siswa itu sendiri. Sementara mereka senang membicarakan tokoh-tokoh sukses, orang-orang tenar, kaya, cendekiawan, insinyur dan lain sebagainya. Disisi lain mereka masih enggan untuk belajar, membaca dan tak mau melirik perpustakaan. Budaya ngobrol, nonton TV, nongkrong  dan kumpul-kumpul agaknya mengangkangi proporsi waktu hari-hari yang dilewatinya

8.        Rendahnya anggaran sarana dan prasarana pendidikan
Dalam proses pembelajaran masalah sarana dan prasarana menjadi sangat pokok untuk disiapkan. Sudahkah semua itu memadai? Sudah tepatkah penggunaan anggaran di sekolah masing-masing?   Sudahkah direalisasikan anggaran untuk bidang pendidikan sebanyak 20 %  dari APBN?
Kalaupun terjadi peningkatan anggaran masih belum menyentuh sisi kualitas sumber daya manusia terutama Guru, mengingat guru sebagai peran sentral dalam pendidikan. Pendidikan dan pembelajaran berkualitas muncul dari guru yang berkualitas bukan dari gedung yang mewah, sementara kenaikan anggaran lebih banyak digunakan untuk pembangunan yang sifatnya fisik. Pendidikan dan latihan anggarannya meningkat juga belum menyentuh sisi kualitas materi pelatihan baru memindahkan tempat pelatihan dari hotel melati ke hotel berbintang sehingga tidak menyentuh esensi tujuan pelatihan yang sebenarnya.

9.        Alat evaluasi di sekolah
Soal ulangan harian, ulangan mid semester, ulangan umum dan soal ujian nasional persekolahan kita selalu menerapkan soal pilihan ganda. Anak tidak pernah bermain bahasa dengan bahasanya sendiri. Anak hanya disuguhi  pilihan yang cara pengerjaannya pun bisa dilakukan dengan ngawur. Anak selalu bisa mengerjakan beberapa soal dalam waktu hanya hitungan menit.  Semua soal bisa terselesaikan. Anak hanya berpikir sepotong-sepotong dan tidak berpikir secara utuh dalam menghadapi setiap butir soal.
Bentuk soal pilihan ganda tidak mendidik siswa kita untuk berfikir kreatif tetapi mendidik anak untuk berbuat spekulasi, padahal tantangan abad 21 mengharapkan sekolah mampu melahirkan seorang pemikir bukan seorang yang cenderung ngawur dalam berbuat dan ceroboh. Mestinya penilaian kita harus bervariasi sesuai dengan tujuan pendidikan kita dan seimbang antara penilaian aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

10.    Maraknya system penerimaan kerja melalui jalur KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)
Anak tidak termotivasi belajar yang keras karena ada jalan pintas mencari pekerjaan dengan  model kolusi. Apabila sistem ini terus membudaya dalam masyarakat maka akan menghancurkan tumbuhnya jiwa  kemandirian dan mematikan kreativitas pada generasi masa depan.

11.    Depolitisasi kebijakan pendidikan
Pengalaman menunjukkan bahwa setiap pergantian pimpinan maka akan muncul pemikiran baru yang cenderung tidak memiliki kesinambungan dengan kebijakan yang lama. Perubahan kebijakan tersebut cenderung bernuansa “Politis” ketimbang berdasarkan perubahan filosofis serta substansinya. Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Tilaar (2004) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan tidak dengan sendirinya meningkatkan mutu pendidikan dalam arti mutu belajar mengajar, tetapi hanya akan memindahkanborok-borok pendidikan dari pusat kedaerah. Namun demikian desentralisasi pendidikan perlu dalam menumbuhkan sikap demokrasi namun desentralisasi pendidikan belumlah segalanya jika tidak diikuti dengan usaha perbaikan disegala bidang yang berkaitan.

12.    Penempatan pejabat tidak sesuai dengan kompetensinya.
Penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensinya juga terjadi didunia pendidikan. Sering terjadi penempatan pejabat hanya berdasarkan keinginan pejabat bukan berdasarkan kompetensinya.


13.    Fenomena Pendidikan Gratis
Di tengah carut marutnya dunia pendidikan dewasa ini, issue “pendidikan gratis” ternyata menjadi komoditi politik dalam berbagai suksesi kepala daerah di Indonesia. Jargon politik tersebut cukup ampuh untuk dijadikan sebagai daya pikat bagi segelintir orang yang berkepintingan untuk mendapat dukungan publik yang memang mayoritas membutuhkan kebijakan tersebut. Seberapa perlukah negeri ini memberlakukan kebijakan ini?
Program sekolah gratis ini sudah dijalankan di berbagai daerah, namun demikian belum ada laporan yang menyatakan bahwa pendidikan gratis ini sudah ditangani secara sungguh-sungguh dan merata di seluruh Indonesia. Sehingga “ide pendidikan dasar 9 tahun (6 tahun SD dan 3 tahun SMP) hanya indah diatas kertas, apalagi hanya berisi slogan janji untuk pendidikan gratis” pada saat kita kesulitan dana pembangunan, walaupun sudah meminjam dana dari negara asing program wajib belajar 9 tahun belum berhasil, karena tidak ada political will pemerintah yang betul-betul mendukung program ini, terutama dari segi pendanaannya.
Di sisi lain sesungguhnya tidak ada “pendidikan gratis, yang terjadi adalah biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah atau pihak lain. Sebab, dampak mencuatnya issue pendidikan gratis telah menciptakan apatisme masyarakat untuk memajukan dunia pendidikan. Masyarakat semakin apatis, cuek, kurang peduli, dan sebagainya.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.

Mencermati berbagai permasalahan dan tantangan pendidikan kedepan maka perubahan mendasar dalam pengelolaan pendidikan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kita tentu tidak ingin system pendidikan kita makin lama semakin terpuruk tetapi kita pasti menginginkan pendidikan kita menjadi sejajar dengan Negara lain.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan baik oleh jajaran birokrasi pendidikan maupun masyarakat umum dalam menata pendidikan kita agar unggul dimasa yang akan datang, diantaranya:
a.       Pendidikan harus ditafsirkan secara luas, pendidikan jangan dibatasi sebagai schooling, sehingga tanggungjawab pendidikan bukan dilimpahkan semuanya ke sekolah tetapi juga kepada masyarakat.
b.      Melakukan perubahan atas kesalahan dalam system pendidikan kita
c.       Guru harus professional
d.      Kelayakan guru dan kesejahteraan harus diperhatikan
e.       Efisiensi pemanfaatan anggaran pendidikan
f.       Kebijakan pendidikan bebas dari intrik politik
g.      Penempatan pejabat sesuai dengan kompetensinya “right man on the right place”
h.      Rekrutmen tenaga guru harus profesional
Bagaimana mengatasi sederetan fenomena dan kepincangan yang masih marak di lapangan tersebut. Tidak semudah yang kita inginkan mengatasi fenomena yang kompleks itu. Perlu perencanaan yang matang, upaya yang ekstra keras dan pengawasan yang baik dalam pelaksanaan proses belajar mengajar demi keberhasilan terbentuknya sumber daya mnanusia yang berkualitas.
Ada beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam rangka menata pendidikan kita kedepan. Langkah pertama adalah menempatkan anggaran pendidikan pada posisi yang optimal. Peningkatan anggaran tersebut digunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan peningkatan kualitas guru. Seperti halnya dosen pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih bagi peningkatan kualitas guru dalam hal pemberian beasiswa belajar. Sangat ironis jika guru dituntut untuk menghasilkan sumberdaya yang berkualitas jika kualitas guru sendiri masih dipertanyakan. Langkah kedua, memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat harus menyadari bahwa tanggungjawab pendidikan tidak hanya dibebankan kepada sekolah tetapi juga menjadi tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Langkah ketiga menumbuhkembangkan siswa untuk lebih meningkatkan semangat belajar, membaca, terampil, kreatif dan kritis terhadap lingkungan.


DAFTAR RUJUKAN

Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara, Bandung, 2007.

Tilaar, H.A.R, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

Tilaar, H. A. R, Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

------------------, Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.






Senin, 16 Mei 2011

Salam Perkenalan

ASSALAMU’ALAIKUM WR WB
SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Blog ini saya buat untuk mewadahi keinginan saya untuk dapat berbagi dengan siapa saja yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Saya adalah seorang pendidik di SMP Negeri 6 Muaro Jambi sebuah sekolah di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. Selain mengajar sering terlibat dalam kegiatan pelatihan dilingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Muaro Jambi sebagai fasilitator, mengelola kegiatan MGMP Mandiri Mata Pelajaran IPS. Blog ini saya jadikan sebagai sarana untuk bertukar fikiran dan sebagai sarana belajar menulis terutama dalam dunia pendidikan baik makalah, artikel, maupun tulisan lain yang berkaitan dengan dunia pendidikan secara umum. Saya sadar karena masih belajar pasti masih banyak kekurangan untuk itu sangat kami harapkan kritik dan saran demi perbaikan tulisan ini maupun dalam perbaikan blog ini lebih lanjut. Saya sangat terbuka dalam menerima masukan dan kritik dari siapapun.Kalau terdapat tulisan saya yang kurang berkenan saya yakin itu tidak bermaksud untuk memberikan kesan negative tetapi memang itulah kekurangan saya.
Terima kasih semoga dengan blog ini bisa kita jadikan sebagai sarana komunikasi dan menjalin silaturrahmi bagi siapapun yang peduli dalam dunia pendidikan. Semoga juga bisa menjadi sarana bertukar fikiran maupun ide demi perbaikan pendidikan secara umum.
Wassalamualaikum WR WB

Sembah Sungkem Kami


Sugiyanto